Jumat, 01 Mei 2009


TINJAUAN YURIDIS TENTANG PROTOKOL TAMBAHAN II TH 1977 DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG PROTOKOL TAMBAHAN II 1977 DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA.”
Penulisan Skripsi ini merupakan bagian dari salah satu syarat guna menyelesaikan studi akhir Program Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang, dan karena bimbingan-Nya melalui Dosen Pembimbing, keluarga serta teman-teman, akhirnya dapat kami selesaikan penulisan Skripsi ini. Dengan selesainya penulisan Skripsi ini, maka selayaknya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Edy Lisdiyono, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNTAG Semarang, yang telah memberi kesempatan penulis untuk belajar pada Fakultas Hukum UNTAG Semarang;
2. Bapak, Imawan Dicky Prasudhi, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I Skripsi;
3. Bapak Ir. Bambang Siswanto, SH,M.Hum yang juga selaku Dosen Pembimbing II Skripsi ini;
4. Segenap Dosen Pengajar Fakultas Hukum UNTAG Semarang;
5. Orangtua penulis yang selalu memberi dorongan serta do’a untuk keberhasilan penulis;
Semoga Tuhan YME melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Fakultas Hukum UNTAG Semarang, dan Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang dan masyarakat luas serta dapat menambah referensi khasanah ilmu hukum.

Semarang, Pebruari 2009
Penulis,



ABSTRAK



Skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Protokol Tambahan II Tahun 1977 Dan Penerapannya Di Indonesia” ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif analisis. Bersifat deskriptif karena penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data yang menggambarkan secara jelas bagaimana penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977. Bersifat analitis karena data yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif. Data dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan narasumber serta responden.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Apabila timbul suatu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, seperti halnya yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, maka yang berlaku hanyalah satu pasal dari Konvensi Jenewa 1949 yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Walaupun hanya satu pasal tetapi pasal tersebut adalah intisari dari pasal-pasal lainnyadalam Konvensi Jenewa 1949 yaitu perlindungan kepada para korban perang.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………... i
HALAMAN PENGESAHAN …..………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. iv
ABSTRAK ………………………………………………………………………… vi

BAB I : PENDAHULUAN ……………………….……..............…………… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… …………………………….…… 1
B. Pembatasan Masalah ………………………………….…………… 6
C. Perumusan Masalah …………………………………….……...... 6
D. Tujuan Penelitian ……………………………...………………....... 7
E. Kegunaan Penelitian ………………………………….…………… 9
F. Sistematika Penulisan …………………………………….……….. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional …................................. 16
I.1. Pengertian Menurut Konvensi Jenewa dan Konvensi
Den Hague ………………………………………………………. 16
I.2. Pengertian para sarjana tentang hukum humaniter internasional ….18
2. Sejarah munculnya Hukum Humaniter Internasional ……………. 18
2.1. Zaman Kuno ……………………………………………………. 18
2.2. Abad Pertengahan ……………………………………………… 19
2.3. Zaman Modern …………………………………………….…… 20
3. Tinjauan Sengketa Bersenjata Non Internasional ………………… 20
3.1. Pengertian Menurut Konvensi Jenewa 1949 …………………… 21
3.2. Pengertian Para sarjana tentang sengketa bersenjata non
internasional ……………………………….………………..…. 23
3.3. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 sebagai dasar hukum konflik
bersenjata non internasional …………………………….…….. 23

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Tipe Penelitian …………………………………………………… 27
B. Spesifikasi Penelitian …………………………………………….. 27
C. Sumber Data ……………………………………………………… 28
D. Metode Pengumpulan Data ………………………………………. 29
E. Metode Analisa Data ……………………………………………... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
A. SENGKETA BERSENJATA NON INTERNASIONAL
DI NANGGROEA ACEH DARUSSALAM DAN PAPUA …..… 33
B. PENERAPAN HUKUM HUMANITER DI INDONESIA …..... 34


BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………….………………………… 74
B. Saran-saran ………………………………………………………. 76

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sengketa bersenjata selalu menimbulkan perilaku yang agresif dari pihak-pihak yang terkait dan kekerasan yang terjadi menimbulkan berbagai akibat sampingan. Umumnya dari sengketa senjata tersebut penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang menjadi korban dan harus membayar mahal akan kekerasan tersebut.
Maka dari itu timbul suatu gagasan yang sederhana tetapi cukup memaksa yaitu dari beberapa hal yang tidak diperbolehkan sekalipun pada waktu perang. Berawal dari inilah, hukum humaniter internasional merumuskan sejumlah ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi beberapa kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta dalam pertempuran, serta untuk membatasi alat dan cara berperang.
Adapun sengketa bersenjata dibagi menjadi dua yaitu :
a. Hukum yang mengatur cara berperang dan alat-alat yang boleh dipakai untuk berperang; dan
b. Hukum yang melindungi kombatan, penduduk sipil dari akibat perang.
Bagian pertama umumnya diatur dalam Hague Conventions, dan oleh karena itu sering disebut Hague Laws of Wars. Bagian kedua diatur dalam Geneva Convention dan karena itu disebut juga Geneva Laws of War, sekarang sering disebut Hukum Humaniter.
Hukum Humaniter tidak semata-mata memuat tentang konflik antara negara (internasional) tetapi juga konflik bersenjata non-internasional. Pengaturan tentang konflik bersenjata non-Internasional diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yang berbunyi :
“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Agung Penandatanganan, tiap pihak dalam pertikaian itu diwajibkan untuk melakukan ketentuan sebagai berikut, …” (garis bawah oleh penulis)
Berdasarkan hukum humaniter internasional banyak istilah yang dipakai untuk menyebutkan kekacauan keamanan yang terjadi di dalam negeri yang disimpulkan dalam istilah konflik bersenjata non-internasional (Non International Armed Conflict). Akan tetapi, pemerintah berdasarkan pertimbangan national interest menyebutkan dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Adapun kriteria-kriteria yang dirumuskan dalam Pasal 1 paragraf 1 Protokol Tambahan II 1977 untuk suatu non international armed conflict adalah :
1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Konvensi Jenewa 1949 telah beberapa kali disempurnakan, ICRC mengusulkan agar peraturan-peraturan dalam Konvensi Den Haag dimasukkan dalam protokol-protokol Tambahan Konvensi Jenewa. Inisiatif ICRC dapat diterima dan lahirlah Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II 1977. Terdapat keterkaitan antara Konvensi Jenewa 1949 dengan Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II 1977.
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui UU No. 59 tahun 1958 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 109 tahun 1958 Memori Penyelesaian dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644. Sedangkan sampai saat ini untuk Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II 1977, Indonesia belum meratifikasi. Tetapi Indonesia berkomitmen untuk meratifikasi sesuai dengan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003. Menurut Haryomataram “A draft ratification law is already formulted and well so soon send to the parliament for approval. If the parliament approved the draft must be signed by the President”. Selanjutnya Haryomataram mengatakan kita akan meratifikasinya dengan declaration bukan reservation.
Disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional karena syarat-syarat minimum untuk hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 dan keterangan Protokol Tambahan II 1977. Konflik yang terjadi di Nanggroe Aceh Darusalam dan Papua dapat dikategorikan sebagai sengketa bersenjata non-internasional. Pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Nanggroe Aceh Darussalam dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua mempunyai sayap militer dan daerah yang dikuasai dalam aksinya, serta sarana untuk melaksanakan ketentuan konvensi ada.
GAM memiliki sayap militer yang disebut dengan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang berada di bawah komando Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka Teungku Abdullah Syafii. Struktur militernyapun sudah lengkap, yang berada di bawha Gubernur. Kekuatan GAM diidentifikasi memiliki 4869 orang, 804 orang diantaranya kader militan yang dilatih di Libya, dan 115 orang lainnya di latih di Philipina. Persenjataan juga termasuk modern, pistol, senapan, GLM, mortir, serta granat. Jenis senapan yang digunakan umumnya adalah AK-47 dan M16-A1. Menurut pemerintah Indonesia di Aceh di identifikasi ada tiga wilayah, yaitu wilayah putih adalah daerah yang tidak ada aktivitas GAM, wilayah kelabu adalah daerah yang keadaan keamananya sedang labil, serta daerah hitam adalah daerah yang dikuasai GAM antara lain; Pidie, Pireuy, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.
Organisasi Papua Merdeka dibentuk di Irian Jaya dan diperkenalkan dan disebarluaskan oleh faksi pimpinan Terianus Aronggear di Manokwari. Bendera OPM merupakan rancangan Mr. De Rijke yang pertama kali dikibarkan pada tanggal 1 November 1961. Seperti hanyal GAM, OPM juga mempunyai sayap militer, namun struktur dan susunan militernya tidak selengkap dan serapi GAM. Bahkan sekarang serangan OPM terhadap aparat atau sebaliknya masih kerap terjadi, OPM menguasai daerah-daerah pedalaman dan kerap kali berpindah-pindah tempat base camp tapi keberadaan OPM nyata ada. Dengan Lagu Kebangsaan Hai Tanah Papua dan bendera kejoranya.
Menurut Haryomataram berdasarkan Konvensi-konvensi 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dapat dibedakan bentuk-bentuk konflik bersenjata sebagai berikut :
1. Konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang bersifat non-internasional :
a. tunduk pada artikel 3 Konvensi Jenewa
b. tunduk pada Protokol Tambahan II 1977
2. ketegangan yang tidak tergolonga konflik bersenjata, disebut internal disturbance atau tensions, atau juga disebut internal strife.
Ketegangan yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dapat digolongkan ke dalam sengketa bersenjata non-internasional karena syarat-syarat yang disebut dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 1 paragraf 1 Protokol Tambahan II 1977 telah terpenuhi.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (2) Konvensi Jenewa 1949 menyatakan :
“The wounded and sick shall be collected and cared for. An impartial humanitarian body, such as the International Committee to the Red Cross, may offers its services to the Parties to the conflict.
The parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means special agreements all of part of the other provisions of the present Convention.
The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the parties to the conflict.”

B. Pembatasan Masalah
Karena begitu luasnya masalah Sengketa Bersenjata Non-Internasional menurut Protokol Tambahan II Th 1977 ini, maka permasalahannya hanya dibatasi pada konflik bersenjata non-internasional di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua saja.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang konflik bersenjata non-internasional di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua tersebut diatas, maka permasalahan dalam tulisan ini dirumuskan berikut ini :
Bagaimana penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977 ini ?

Dalam menjawab permasalahan ini akan di bahas :
1. Sikap Pemerintah Republik Indonesia dalam memahami posisinya sebagai Pihak Peserta Agung dan sikap yang diambil terhadap pelanggar hukum humaniter internasional di daerah konflik antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional.
2. Peranan lembaga humaniter internasional sebagai penghubung dan pihak ketiga di daerah berkonflik di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Langkah-langkah komprehensif pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Hubungan antara negara dengan lembaga humaniter internasional dalam penyelesaian masalah Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.

C. Tujuan Penelitian
Semenjak runtuhnya Orde Baru dengan kekuasaan militer dan otoriternya, bangsa Indonesia mencanangkan diri menuju negara demokrasi yang beras di dunia. Pendekatan militer dan kekerasan yang diterapkan Orde Baru di daerah yang berkonflik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua meninggalka luka yang dalam bagi masyarakat setempat. Luka hati yang dalam ini meningkat menjadi dendam dan rasa tidak percaya kepada pemerintah pusat. Bahaya disintegrasi bangsa menjadi semakin nyata di depan mata apabila penyelesaian konflik di daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua tidak dilaksanakan secara tegas dan konsisten.
Penilaian dunia internasional terhadap penjatuhan hukuman terhadap pelanggar hukum humaniter internasional yang menjadi fokus penulisan, dipandang masih sangat ringan. Hal inilah yang masih menjadi kendala penegakkan hukum di Indonesia yang menyebabkan dunia internasional bahkan di dalam negeripun kurang percaya terhadap aparat penegak hukum. Disamping penerapan hukum harus dilaksanakan, penggunaan penyelesaian alternatif yang masih dalam koridor hukum dan hukum humaniter internasional sangat diperlukan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Peranan lembaga-lembaga humaniter internasional di daerah berkonflik tidak dapat dipandang ringan peranannya di Indonesia, lembaga-lembaga humaniter internasional telah membantu sebagai mediator atau pihak ketiga dan penyemangat hukum humaniter internasional. Berdasarkan hal tersebut diatas penelitian ini bertujuan :
1. Memperoleh data yang berhubungan dengan Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dalam kaitannya dengan historis dan sosiologis.
2. Mendapatkan informasi tentang sejauh mana penerapan hukum humaniter internasional diterapkan di daerah berkonflik.
3. Menganalisis sikap yang diambil pemerintah Indonesia dan pemecahan alternatif yang berhubungan dengan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dalam koridor hukum humaniter internasional.
4. Mendapatkan informasi sejauh mana keikut sertaan lembaga internasional sebagai mediator atau pihak ketiga dan penyemangat hukum humaniter internasional di daerah berkonflik.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain sebagai berikut :
1.Teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya.
2. Praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Negara Republik Indonesia untuk langkah-langkah perbaikan atau penyempurnaan dalam rangka Mendapatkan informasi tentang sejauh mana penerapan hukum humaniter internasional diterapkan di daerah berkonflik dan juga Menganalisis sikap yang diambil pemerintah Indonesia dan pemecahan alternatif yang berhubungan dengan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dalam koridor hukum humaniter internasional.

E. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan dalam penulisan, maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis karena itu penulis mengemukakan secara bab per bab, yang terdiri dari :
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan berisi uraian mengenai Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah , Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II : Tinjauan Pustaka yang berisi mengenai Tinjauan umum tentang Tinjauan Hukum Humaniter Internasional ; Sejarah Munculnya Hukum Humaniter Internasional ; Tinjauan Sengketa Bersenjata Non Internasional.
BAB III : Metodologi Penelitian yang berisi mengenai Tipe Penelitian , Spesifikasi Penelitian, Sumber Data, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisa Data.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Analisa Data yang berisi antara lain berisi Penerapan Hukum Humaniter di Indonesia, Penggolongan Konflik Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua ke Dalam Sengeketa Bersenjata Non Bersenjata; Implementasi Hukum Humaniter Internasional Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua; Hukum Humaniter Internasional di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dan lain-lain.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian hukum humaniter telah banyak dikemukakan oleh para pakar dan ahli hukum, dengan mencermati pengertian dan / atau definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu aliran luas, aliran tengah, aliran sempit. Jean Pictet misalnya menganut pengertian hukum humaniter dalam arti luas yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Konvensi Jenewa, Konvensi Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut konvensi Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag
Hukum humaniter tidak semata-mata memuat tentang konflik antar negara (internasional) tetapi juga konflik bersenjata non-internasional. Konflik non internasional pengaturannya termuat dalam dua macam perjanjian : yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol II 1977. Indonesia adalah salah satu penanda tangan Konvensi Jenewa 1949, dan telah meratifikasinya melalui UU No. 59 tahun 1958 Memori Penyelesaian dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644. Aturan yang diterapkan adalah pasal 3 Kovensi Jenewa 1949, yang menyatakan tiap pihak dalam pertikaian diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan yang berlaku dan harus memperlakukan korban konflik menurut asas-asas kemanusiaan. Indonesia telah berkomitmen untuk meratifikasi Protokol I dan Protokol II tahun 1977 sebagai Protokol Tambahan dan Empat Konvensi Jenewa 1949. Untuk itu Indonesia telah membentuk Komite Nasional untuk menelaah keseluruhana aspek dari hukum humaniter internasional, dan sudah menjadi bagian dari Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003.
Pasal 3 ayat (1) Konvensi Genewa 1949 memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk memperlakukan semua orang yang tidak aktif atau tidak lagi ikut serta dalam tindakan permusuhan secara manusiawi tanpa pembedaan yang merugikan dalam segala keadaan. Orang-orang tersebut terutama meliputi orang-orang yang luka dan sakit, tawanan perang dan semua orang yang telah meletakkan senjata. Sesuai dengan kewajiban umum ini yang sangat mendasar dalam gagasan adalah bahwa martabat manusia tidak dapat diganggu gugat.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang :
1. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan dalam semua jenisnya
2. Penyanderaan
3. Merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan merendahkan martabat
4. Penghukuman dan pelaksanaan putusan tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bagian yang beradab.
Selanjutnya Pasal yang telah disebutkan itu, mengharuskan pihak-pihak peserta memperlakukan korban konflik bersenjata non-internasional sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam ayat (1). Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan memurut asas-asas kemanusiaan terlepas dari status pemberontak, menurut hukum atau sifat dari konflik bersenjaga tersebut.
Pengakuan oleh pemerintah yang diberontaki akan sangat memperkuat kedudukan pemberontak. Keadaan ini dapat disalahgunakan oleh pemberontak. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal ini, maka dalam penutup pasal ini dinyatakan bahwa “pelaksanaan ketentuan ini tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam persengketaan tersebut”
Untuk mencegah timbulnya kesalahpahaman terhadap ketentuan Pasal 3 ini perlu ditegaskan dua hal, yaitu :
1. Pasal 3 tidak dengan sendirinya memberlakukan seluruh ketentuan konvensi dalam pertikaian internal melainkan hanya asas pokok tersebut dalam Pasal 3.
2. Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata menurut Undang-undang atau ketentuan hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata memberikan jaminan perlakuan terhadap korban konflik bersenjata berdasarkan asas-asas kemanusiaan.
Prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949, ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II. Protokol ini diterapkan hanya kepada konflik-konflik internal dari suatu negara yang sudah memiliki intensitas tertentu dimana pemberontak bersenjata menguasai atau melakukan pengawasan sebagian wilayah dari wilayah nasional negara yang bersangkutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II 1977 antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mengatur : jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran.
2. Menentukan : hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil.
3. Memberikan : perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan.
4. Melarang : dilakukannya tindakan starvasi secara disengaja.
Pasal 9 Konvensi Jenewa I, II, III 1949 dan Pasal 10 Konvensi Jenewa IV 1949 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan kemanusiaan, yang mungkin diupayakan oleh Komite Palang Merah Internasional atau organisasi kemanusiaan lainnya yang tidak berhak untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan para rohaniawan selama kegiatan-kegiatan tersebut mendapat persetujuan pihak-pihak yang bersengketa tersebut.
Dalam masyarakat internasional yang terdiri dari berbagai negara sebagai pribadi-pribadi di satu pihak, juga ada organisasi internasional seperti PBB, ICRC di lain pihak. Negara-negara tersebut dan organisasi internasional tersebut bersama-sama bertanggung jawab untuk melaksanakan hukum humaniter internasional. Ketentuan yang mengatur tentang pemberantasan pelanggaran atas konvensi diatur dalam Pasal 49-50 Konvensi Jenewa I 1949, Pasal 50-51 Konvensi Jenewa II 1949, Pasal 129-130 Konvensi Jenewa III 1949, dan Pasal 146-147 Konvensi Jenewa IV 1949.
Dan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan 1977, berbunyi :
1. This Protocol, which develops and supplements articles 3 common to the Geneva convention of 12 August 1949 without modifying its exiting conditions of application, shall apply to all armed conflict which are not covered by articles 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the protection of victims of International Armed Conflicts (Protokol I) and which take place in the territory of a High Conctracting Party between its armed forces and dissident armed force of other organized armd groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this protocol
2. This Protocol shall not apply to situations of internal disturbance and tension such as ricts, isolated, and sporadic act of violence and other acts of similar nature, as not being armed conflicts.
Selain pengertian non-internasional menurut Pasal 3 Konvensi Jenewa IC 1949 serta Pasal 1 paragraf 1 Protokol Tambahan Ii 1977, ada beberapa sarjana yang berusaha membahas dan merumuskan pengertian non-internasional, yang menguatkan keyakinan penulis untuk memasukkan konflik Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua kedalam sengketa bersenjata non-internasional, mereka adalah :
1. Dieter Fleck :
“A non-international armed conflict is a confrontation between the existing govermental authority and groups of persons subordinate to his authority, which is carried out with arms whitin national territory and reaches the magnitude of an armed riot or civil war”
2. Pietro Verri
“A non-international armed conflict is charaacterized by fighting between the armed forces of a state and dissdent or rebel armed forces … However a conflict in the territory of state between two ethnic groups may be classed as non-international armed conflict provided it has the necessary of intensity, duration and participation”
3. Hans-Peter Gasser
“non-international armed conflict are armed conftrontation that take place within the territory of the State, that is between the government of the one hand and armed insurgent group on the other hand. thE members of suchs groups whether describes as insurgents, rebel, revolutionaris, secessionist, freedom fighters, terrorist, or similar names-are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State. The cause of such conflict are manifold; often, however, it is the non-observance of the rights of minorities or of other human rights by a dictatorial regime that give rise to the break down of peace within the State”
Menurut penulis pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah :
“Sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa yang terjadi di satu wilayah negara antara pemerintah yang sah dengan pihak pemberontak dengan tujuan untuk mendirikan negara sendiri atau mendapatkan kekuasaan atas suatu daerah”

1. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional
1.1. Pengertian Menurut Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Hague
Hukum humaniter internasional memuat dua aturan pokok, yaitu hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa, yaitu mengatur mengenai perlindungan korban perang. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang, yang merupakan hasil-hasil konferensi perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui UU No. 59 tahun 1958 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 109 tahun 1958 Memori Penyelesaian dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644. Sedangkan Protokol Tambahan 1977, Indonesia belum meratifikasi karena kekhawatiran akan digunakan oleh pihak pemberontak untuk menaikkan posisi tawar di dunia internasional.
Sedangkan konvensi-konvensi Den Haag 1907, menurut Sugeng Istanto yang menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya konferensi tersebut Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh kerajaan Belanda dengan undang-undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oleh UUD 1945 termasuk ratifikasi terhadap Konvensi Den Hague 1907.


1.2. Pengertian para sarjan tentang hukum humaniter internasional
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, berikut ini rumusan hukum humaniter oleh para ahli, dengan ruang lingkup masing-masing :
a. Mocthar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah :
“bagian dari hukum yang mengatur ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan itu sendiri”
b. Panitia tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut :
“hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin terhadap harkat dan martabat seseorang”

2. Sejarah munculnya Hukum Humaniter Internasional
2.1. Zaman Kuno
Sekitar tahun 3000 sampai 1500 SM, Pictet mengemukakan antara lain :
a. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perangsudah merupakan lembaga yang teroganisir. Hal ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrasi, kekebalan utusan musuh, dan perjanjian damai.
b. Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam “Seven Work of True Mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu.
2.2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam, Nasrani, dan asas ksatria. Ajaran agama Nasrani mengajarkan adanya perang adil atau just war. Hukum humaniter yang lebih dulu manju di daratan Eropa sehingga ajaran Nasrani, sebagai agama yang dianut secara mayoritas di Eropa, sangat mempengaruhi dalam penemuan dan kemajuan hukum humaniter di abad pertengahan. Dan dalam perkembangan nanti ajaran nasrani sangat mempengaruhi dalam pembuatan hukum humaniter baik dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Hukum Den Haag. Ajaran Islam tentang memperlakukan tawanan dan daerah yang tidak boleh dihancurkan, serta orang-orang yang tidak boleh diserang juga mempengaruhi dalam pembentukan dan perkembangan hukum humaniter. Ajaran ini natinya juga akan mempengaruhi dalam perkembangan hukum humaniter selanjutnya. Asas kesatrian mengajarkan tentang pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. Sehingga dalam abad pertengahan ini pengaruh dari ajaran agama dan keyakinan berkembang dan mempengaruhi hukum humaniter. Sesuai dengan karakteristik hukum humaniter itu sendiri yang mementingkan asas kemanusiaan dan keluruhan serta kedamaian yang merupakan ajaran dari semua agama dan keyakinan.
2.3. Zaman Modern
Salah satu tonggak penting dari sejarah modern hukum humaniter adalah didirikannya Palang Merah dan ditandatangani Konvensi Jenewa tahun 1864. Sedangkan di Amerika Serikat, presiden Lincoln meminta Lieber untuk menyusun sebuah pedoman dan hasilnya adalah Instruction for Government of Armies of United Stated atau biasa disebut dengan Lieber Code.
Berdirinya Palang Merah juga menjadi tonggak penting hukum humaniter internasional. Berasal dari pertempuran di kota Solferino pada tanggal 24 Juni 1859, Henry Dunant, warga negara Swiss, berada di medan pertempuran untuk dapat bertemu dengan Napoleon III. Melihat penderitaan tentara di medan perang, Henry Dunant bersama penduduk setempat segera membantu mengkoordinasi untuk membantu para tentara yang terluka. Sekembalinya ke Swiss, pengalaman di Solferino dituliskan dalam sebuah buku dengan judul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam buku tersebut Henry Dunant mengemukakan dua gagasan :
a. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan yang akan disiapkan di masa perdamaian untuk menolong para prajurit yang cidera di medan perang;
b. Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cidera di medan perang serta sukarelawan dari organisasi tersebut pada waktu memberikan perawatan.
Pada tahun 1863, empat orang warga negara kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant bergabung untuk mengembangkan kedua gagasan tersebut. Mereka membentuk “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cidera”, yang kemudian terkenal dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Berdasarkan gagasan pertama, didirikan sebuah organisasi sukarelawan di setiap negara, yang bertugas untuk membantu bagian medis angkata perang pada waktu perang. Organisasi tersebut kemudian terkenal dengan Perhimpunan Palang Merah atau Blan Sabit Merah Nasional.
Berdasarkan gagasan kedua, pada waktu 1864, diadakan konferensi internasional yang menyetujui “Konvensi untuk perbaikan kondisi prajurit yang cidera di medan perang”. Konvensi ini disempurnakan dan dikembangkan menjadi Empat Konvensi Jenewa tertanggal 1949, atau disebut dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional yang pada dasarnya untuk mengurangi kejahatan korban yang cidera ataupun mati, serta kerusakan harta benda yang disebabkan oleh pertikaian bersenjata.

3. Tinjauan Sengketa Bersenjata Non Internasional
3.1. Pengertian Menurut Konvensi Jenewa 1949
Dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yang berbunyi :
“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Agung Penandatanganan, tiap pihak dalam pertikaian ini diwajibkan untuk melakukan ketentuan sebagai berikut, …” (garis bawah oleh penulis)
pasal 3 ayat (1) Konvensi Jenewa 1949 memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk memperlakukan semua orang yang tida kaktif atau tidak lagi ikut serta dalam tindakan permusuhan secara manusiawi tanpa pembedaan yang merugikan dalam segala keadaan. Orang-orang tersebut terutama meliputi orang-orang yang luka dan sakit, tawanan perang dan semua orang yang telah meletakkan senjata. Sesuai dengan kewajiban umum ini yang sangat mendasar dalam gagasan adalah bahwa martabat manusia tidak dapat diganggu gugat.
Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 melarang :
a. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan dalam semua jenisnya.
b. Penyanderaan.
c. Merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan merendahkan martabat.
d. Penghukuman dan pelaksanaan putusan tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bagian yang beradab.
Prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949, ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II 1977. Protokol ini diterapkan hanya kepada konflik-konflik internal dari suatu negara yang sudah memiliki intensitas tertentu dimana pemberontak bersenjata menguasasi atau melakukan pengawasan sebagian wilayah dari wilayah nasional negara yang bersangkutan.
3.2. Pengertian Para sarjana tentang sengketa bersenjata non internasional
Terdapat beberapa sarjana yang berusaha membahas dan merumuskan pengertian non internasional mereka adalah :
a. Dieter Fleck :
“A non-international armed conflict is a confrontation between the existing govermental authority and groups of persons subordinate to his authority, which is carried out with arms whitin national territory and reaches the magnitude of an armed riot or civil war”
b. Pietro Vieri :
“A non-international armed conflict is charaacterized by fighting between the armed forces of a state and dissdent or rebel armed forces … However a conflict in the territory of state between two ethnic groups may be classed as non-international armed conflict provided it has the necessary of intensity, duration and participation”

3.3. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 sebagai dasar hukum konflik bersenjata non internasional
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakukan menurut asas-asas kemanusiaan terlepas dari status pemberontak menurut hukum atau konflik bersenjata yang sedang terjadi. Mahkamah Internasional menganggap ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memberikan perlindungan kepada rakyat, termasuk dalam ketegangan internal. Pihak-pihak yang bersengketa selanjutnya harus berusaha dengan jalan persetujuan khusus untuk melaksanakan semua atau bagian-bagian lainnya dari konvensi ini.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang dirasakan terlalu luas artinya, sebenarnya tentang syarat-syarat tentang suatu konflik disebut dengan sengketa bersenjata non internasional dapat dilihat pada Protokol Tambahan II 1977 tetapi terbentur belum diratifikasinya peraturan ini. Oleh karena itu kita dapat melihat penjelasan atau commentary Konvensi Jenewa, yang dikatakan bahwa :
Disepakati oleh para peserta konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan “sengketa bersenjata” (armed conflict), dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa yang harus dipenuhi supaya Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karena tidak dirumuskan dalam pasal sendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranya dapat bermanfaat untuk diperkirakan dalam keadan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku syarat-syarat untuk suatu “sengketa bersenjata” itu adalah sebagai berikut :
a. bahwa pihak pemberontak terhadap pemerintah de jure memiliki kekuatan militer yang terorganisir, dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksinya dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.
b. Bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakan kekuatan militer reguler untuk menghadapi pemberotnak yang terorganisir secara militer dan menguasai sebagian wilayah nasional
c. 1. bahwa pemerintah de jure mengakui pemberontak sebagai belligerent
2. bahwa pemerintah telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent
3. bahwa pemerintah telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja.
4. bahwa perselisihan tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi.
d. 1. bahwa pemberontak mempunyai organisasi yang bersifat sebagai negara
2. bahwa penguasa sipil (civil authority)melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu.
3. bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir.
4. bahwa penguasa sipil pemberontak setuju terikat pada ketentuan pada ketentuan konvensi
Dengan melihat penjelasan tersebut, maka dapat dibedakan antara sengketa bersenjata yang sebenarnya dengan tindakan para penjahat atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama. Namun dengan melihat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan adanya suatu syarat minimum yang diperlukan agar suatu konflik disebut sengketa bersenjata non internasional. Dan yang lebih ditekankan disini adalah perlindungan korban konflik dan penjagaan martabat kemanusiaan yang memerlukan tekanan dari negara peserta lain agar masalah konflik selalu mendapat perhatian dari pemerintah tanpa harus ikut campur urusan dalam negeri. Seperti diketahui bahwa setiap keburukan dalam negeri selalu akan ditutupi oleh pelaku apabila para pelaku sudah di pusat kekuasaan, sehingga diperlukan tekanan asing dan bantuan pihak asing agar perlindungan korban dan keadilan dapat terjamin.




BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, karena disamping menggunakan data sekunder dan memakai kaidah-kaidah hukum serta perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977 dan juga akan digunakan data primer sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Metode pendekatan yuridis normatif ini digunakan untuk mengkaji hukum sebagai sekumpulan peraturan perundang-undangan, sedangkan segi empiris penelitian ini akan digunakan untuk menganalisis penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977 tersebut di atas.

B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistis, karena berusaha menggambarkan permasalahan yang ada, kemudian dianalisa berdasarkan ketentuan hukum yang sesuai dengan permasalahan tersebut di atas.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena diharapkan dapat diperoleh data yang menggambarkan secara jelas bagaimana penerapan hukum humaniter internasional dalam sengketa bersenjata non-internasional di Indonesia menurut Protokol Tambahan II Th 1977.

C. Sumber Data
Data yang diperlukan berupa data sekunder yang terdiri atas :
1. Bahan hukum primer berupa peraturan-peraturan baik nasional maupun internasional yang relevan, seperti :
a. Konvensi Jenewa 1949
b. Protokol Tambahan II 1977 tentang Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conflict.
c. Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam.
d. Rancangan Undang-undang tentang Otonomi Khusus Papua.
2. Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan atau karya-karya akademisi, ilmuan atau praktisi hukum dan disiplin ilmu lain yang relevan.
3. Bahan hukum tertier berupa ensiklopedia, kamus hukum atau yang sejenisnya yang memberikan keterangan tentang bahan hukum primer dan sekunder.
Bahan-bahan hukum serta data-data sekunder lainnya diperoleh dari :
1. Perpustakaan Pelayanan Teknis (UPT) I dan II UGM.
2. Perpustakaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Perpustakaan Fakultas Hukum UGM
4. Komisi Nasional HAM
5. Internet
6. ICRC regional Jakarta

D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam skripsi ini, maka penulis melakukan kegiatan sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan, yaitu mengumpulkan bahan-bahan dengan cara mempelajari dan membaca buku-buku dan sebagainya, mencari konsepsi, teori maupun pandangan-pandangan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukakan.
b. Studi lapangan, pada tahap penelitian lapangan, penulis langsung turun ke lapangan dalam rangka untuk melengkapi data pustaka yang dianggap/ dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan penulisan, dengan menggunakan metode sebagai berikut :
Interview atau wawancara, merupakan “proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik”. Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari responden sebagai pelengkap data, yang ada hubungannya dengan permasalahan. Menurut Marzuki, di dalam interview selalu ada dua pihak yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berlainan, yaitu :
- Interview sebagai pengejar informasi (information hiter), yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta penjelasan dan menggali keterangan-keterangan yang lebih mendalam. Kemudian terhadap jawaban yang di berikan interviewer dinilai, ditafsirkan dan dicatat.
- Interviewer sebagai pemberi informasi (information sulyer, respondent). Hubungan yang terjadi bukan hubungan timbal balik seperti dalam cara diskusi atau free talk (pembicaraan bebas).
Di dalam kegiatan wawancara ini, yang dijadikan pihak pemberi informasi adalah Kasat Serse, Kanit Identifikasi dan petugas-petugas dari Unit Identifikasi Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang. Cara yang digunakan adalah dengan teknik wawancara berdasarkan atas pedoman wawancara (Interview Guide) yang dibuat pada pokok-pokoknya saja dan akan dikembangkan pada saat wawancara, yang tentunya disesuaikan dengan pencarian data yang relevan. Pedoman wawancara dipakai untuk memberikan bimbingan agar wawancaranya lebih terarah sehingga menghindarkan kemungkinan dilupakannya beberapa persoalan yang relevan terhadap pokok-pokok penelitian.

E. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam penyusunan dan menganalisa data akan digunakan cara sebagai berikut :
1. Metode Deduktif, yaitu menari kesimpulan dari hal atau ketentuan yang bersifat umum, kepada hal yang bersifat khusus.
Digambarkan tentang situasi secara umum daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, tentang sejarah masuknya ke dalam bagian Republik Indonesia, timbulnya ketidakpuasan yang berakibat timbulnya konflik, kemudian penerapan hukum nasional dan hukum humaniter internasional yang kemudian untuk dapat ditarik kesimpulan secara khusus.
2. Metode Induktif, yaitu cara berpikir yang bersifat khusus kemudian diterapkan pada hal-hal yang bersifat umum pada penulisan hukum ini akan terlihat begitu banyaknya pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi di daerah berkonflik Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, timbulnya perlawanan tersebut salah satunya ada rasa untuk mempertahankan diri dari ketidakadilan tersebut, sehingga langkah-langkah dialog antara berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Semua data yang terkumpul akan dianalisis berdasarkan metode-metode penafsiran sebagai berikut :
1. Penafsiran Gramatikal, yaitu penafsiran yang disesuaikan dengan pengertian lugas dan wajar dari ketentuan hukum dengan menguraikan ketentuan tersebut menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya secara logis.
2. Penafsiran Teleologis, yaitu penafsiran berdasarkan tujuan dari perbuatna hukum tersebut.
3. Penafsiran Sistematis, yaitu menafsirkan makna dengan menghubungkan ketentuan hukum yang satu dengan yang lain yang dinilai mempunyai hubungan.
4. Penafsiran Historis, yaitu penafsiran menurut proses terjadinya suatu ketentuan hukum.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA



A. SENGKETA BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI NANGGROEA ACEH DARUSSALAM DAN PAPUA
1. Latar Belakang Masuknya Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pada tahun 1918, Suwardi Suryaningrat (dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) dalam salah satu makalahnya yang disampaikan pada sidang perayaan ulang tahun ke-10 Boedi Otomo. Waktu itu, Suwardi Suryaningrat menolak gagasan yang menginginkan negeri Indonesia dibatasi pada suku bangsa Melayu-Polinesia, dan menandaskan bahwa batasnya harus sesuai dengan Hindia-Belanda. Menurut Waruno Mahdi sebagaimana mengutip buku Surya Ningrat, 1918 “Het Java ansh nationalisme in de indische beweging, hlm. 29, dan dalam “Soembangsih”, Gedenboek, Boedi Oetomo, 1908-20-Mei-1918. Amsterdam : Nederlandsch Indie Oud & Niew, hlm. 27-48 “Het is de liefde voor ons aller vercenigd vaderland, dat nu nog Nederlandsch Indie heet. Heet Indisch nationalisme is het watchwoord in onze broederschap. Schounder aan shchounder staan de Sumatranen, de Minahassers, de Amboeneezen, de Javanen en alle ondere over heerschte groupen van Indonesia, bereid an gereed tot den strijid voor ons gemeenschappelijk welzijn, voor ons allen ideaal” (Adalah rasa cinta akan tanah air bersatu kita semua, yang sementara masih bernama Hindia Belanda. Nasionalisme Hindiawi adalah semboyannya dalam persaudaran kita. Bahu-membahu berdirilah orang Sumatra, orang Minahasa, orang Ambon, orang Jawa dan semua golongan-golongan Indonesia lainnya yang terjajah itu siap sedialah untuk memperjuangkan keselamatan kita bersama, demi idam-idam kita semua.
Memasukkkan Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam ke dalam wilayah Indonesia karena :
a. Pernah mengembangkan logat melayu setempat.
b. Pernah mengalami kehidupan ekonomi di dalam naungan tatanan, hukum, dan politik khas Hindia Belanda.
c. Pernah mengalami pengajaran sekolah dalam sistem pendidikan Hindia Belanda yang memakai bahasa Melayu dan/atau bahasa Belanda (selain juga digunakan bahasa daerah).
d. Bagi pemeluk agama Kristen, mengalami Kristianisasi hasil kegiatan mizi/zending Belanda (dan Jerman).
1.1. Latar Belakang Masuknya Papua ke Dalam Wilayah Republik Indonesia
Dalam Negara Kertagama karangan Prapanca, terdapat daftar panjang wilayah-wilayah yang tunduk kepada Raja Hayamquruk. Tulisan pada kanto ke-14, pupuh ke-5, baris ke-3 berbunyi :
Muwah tikhan I wandan, ambwan athawa maloko wwanin
(demikianpun di Wandan, Ambwan, dan maloko wwanin)
Apabila diterjemahkan dalam pengertian saat ini :
Ambwan menunjuk pada Ambon
Wwanin menunjuk pada Onin (di Papua di sekitar kota Fakfak)
Maloko menunjuk pada tempat di daerah Halmahera (tetapi bukan Maluku). Istilah Maloko kemudian dalam bahasa Portugis digunakan untuk menyebutkan Maluku.
Setelah perang Dunia II, pemerintah Belanda memperhatikan daerah Papua karena letak geografis yang menguntungkan saat itu. Pada bulan Maret 1946, pasukan-pasukan Belanda didaratkan di zone eksteritorial sekutu (guna repatriasi sisa tentara Jepang). Pendudukan ini sama sekali bukan untuk diusahakan untuk dijadikan negara boneka sendiri, sebagaimana dilakukan pemerintah Belanda saat itu, melainkan disertakan dalam Negara Indonesia Timur yang didirikan pada konferensi Denpasar bulan Desember 1946. Penempatan ini menurut Waruna Mahdi sebagaimana dikutip dalam D.G. Stibbe (ed) 1919, “Encyclopaidie van Nederlands-Indie, jilid 3 (N.Soema). S Gravenhage/Leiden, hlm 33, daerah Irian Barat dalam rangka administrasi Hindia Belanda tidak merupakan satuan teritorial sendiri, melainkan terdiri dari tiga resor :
a. Resor Utara bernama kepulauan Raja Ampat dikepalai Assistant Resident berkedudukan di Manokwari, tunduk kepada Residen di Ternate.
b. Resor Barat dikepalai Asistent-Resident di Fakfak; dan
c. Resor Selatan dikepalai Asistent-Resident di Merauke, keduanya ini tunduk kepada Resident di Ambon.
Pada tahun 1949, dimana pihak Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pembagian wilayah Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari hasil KMB tersebut, Papua tidak dianggap sebagai wilayah teritorial Belanda, namun masalah Papua akan dibahas dan ditunda untuk satu tahun. Selama waktu itu, ternyata pihak pemerintah Belanda banyak melakukan manuver-manuver politik di Papua, seperti pembentukan Nieuw Guinea Raad (Dewan Guinea Baru) seperti halnya Volksraad di Hindia Belanda. Perkembangan situasi di Papua semakin buruk dan menyebabkan banyak menimbulkan pertempuran di wilayah ini antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda. Kemudian Presiden Soekarno menyerukan Trikora dan memerintahkan untuk merebut wilayah Papua dari tangan Belanda.
Karena tekanan Amerika Serikat kepada Kerajaan Belanda, maka Kerajaan Belanda bersedia berdialog dengan pihak Indonesia dengan perantara PBB. Perubahan sikap Amerika Serikat adalah kelesuan Amerika Serikat akibat “Perang Korea” dan ingin membendung pengaruh komunis di Indonesia karena Amerika Serikat melihat kedekatan Presiden Soekarno dengan Uni Soviet. Bahkan ada indikasi bahwa kapal-kapal yang digunakan oleh Komodor Yos Sudarso untuk menyusup ke Papua adalah milik Uni Soviet. Uni Soviet juga memberikan bantuan dan pinjaman lunak kepada Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 5 Agustus 1962, Kerajaan Belanda dan pemerintah Indonesia menandatangani “The Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Concering West New Guinea (west Irian)”. Sesuai dengan perjanjian ini maka Kerajan Belanda mengalihkan administrasi kepada United Nations Temporary Executice Authority (UNTEA) pada tanggal 1 Oktober 1962. Kemudian padatanggal 1 Mei 1963 UNTEA dan pemerintah Indonesia akan memerintah Papua secara bersama-sama. Indonesia kemudian melaksanakan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice di Papua pada bulan Juli sampai Agustus 1969. Diakui atau tidak Pepera ini sama sekali bukan pernyataan pendapat rakyat. Pepera ini dilakukan di bawah tekanan dan intimidasi dari penguasa. Ketika itu, ada 1.025 orang yang dipilih Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI/sekarang menjadi TNI) untuk mewakili (pada waktu itu) 1 juta rakyat Papua. Mereka diharuskan memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia, orang-orang itu ditahan dalam asrama dan didoktrinasi. Kepada mereka diberikan jam tangan, radio dan sepeda yang berarti secara tidak langsung untuk memilih menjadi warga negara Indonesia. Dari 1.025 orang tersebut bahkan ada orang yang bukan penduduk asli Papua, tapi penduduk daerah lain di Indonesia yang sudah lama tinggal di Papua, bahkan ada yang baru 6 tahun berada di Papua. Penduduk yang bukan penduduk asli Papua di minta untuk mewakili 1 atau 3 kampung. Terlepas dari itu semua, hasil Pepera tersebut diterima Majelis Umum PBB melalui resoli No. 2504 (XXIV) pada tanggal 19 November 1969 dengan perincian 84 (setuju), 0 (menentang), dan 30 (abstain). Dengan demikian, secara hukum internasional Papua secara resmi menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.

1.2. Latar Belakang Masuknya Nanggroe Aceh Darussalam ke Dalam Wilayah Republik Indonesia
Menurut Paul Van’t Voer membagi perang di Aceh dalam empat periode :
a. Perang Aceh I (1873 – 1874)
b. Perang Aceh II (1874 – 1880)
c. Perang Aceh III (1881 – 1896)
d. Perang Aceh IV (1897 – 1942)
Perang Aceh I dan II adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara telah dipindahkan ke Keumala Dalam, Indira Puri dan tempat-tempat lain. Perang III adalah perang geriyla total dan teratur, dimana pemerintahan tidak berperan lagi karena sering berpindah tempat. Perang Aceh IV adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat. Perang Aceh baru berakhir pada tahun 1942 dengan kekalahan dari pihak Belanda.
Bung Karno ketika pertama kali datang ke Aceh mengadakan pertemuan empat mata dengan Tengku Daud Beureuh’eh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang. Sumbangan rakyat Aceh ini kemudian digunakan untuk membeli pesawat pertama milik Indonesia yang diberi nama Seulaweh RI-001 dan Dakota RI-002.
Pada tahun 1948, Presiden Soekarno datang ke Aceh untuk pertama kalinya dan meminta Tengku Daud Beureu’eh agar rakyat Aceh mengambil peran aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Persetujuan itu dilakukan dengan syarat agar setelah perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam dan menjadi wilayah tersendiri, persyaratan itu disetujui namun hanya dilakukan secara lisan.
Melalui fatma ulama Aceh bahwa perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda identik dengan “fisabilillah” atau perang di jalan Allah, dan siapapun yang berjuang akan mendapat imbalan “syahid” dan masuk surga. Dengan adanya fakta bahwa Aceh tidak diduduki oleh tentara Belanda, merupakan modal bagi Mohammad Hata melalui perundingan Konferensi Meja Bundar untuk mematahkan argumentasi legalistik Belanda. Jadi sangat nyata peranan rakyat Aceh bagi perjuangan semesta Indonesia, bahkan seandainya rakyat Aceh tidak berperan mungkin Indonesia juga akan lenyap. Selanjutnya agar Indonesia dapat tetap tegak maka lahirnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah pimpinan Mr. Syarifuddin Prawiranegara di mana Aceh menjadi ibukota dan pusat Komando Panglima Sumatera di bawah komando R. Hidayat, setelah itu kemudian PDRI dipindahkan ke Sumatera Barat. Kutaradja (Banda Aceh) ketika itu menjadi pusat pembinaan Angkatan Laut Republik Indonesia di pimpin Kolonel Soebiyakto yang merupakan cikal bakal Angkatan Laut. Di Kutaradja juga terdapat pengembangan Angkatan Udara yang dipimpin Kolonel Soejono dan Mayor Soejono.

2. Sejarah Munculnya Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
Sebagai suatu gerakan separatis yang muncul di Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka menuntut kata merdeka dari pemerintah Indonesia. Dalam perkembangannya, GAM dan OPM lambat laun semakin mendapat simpati dunia internasional, suatu hal yang harus di waspadai oleh pemerintah Indonesia.
2.1. Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Lahirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dimulai pada 28 Juli 1965. Di kota Manowari pada tanggal tersebut terjadi penyerangan orang-oradi penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) dimana tiga anggota kesatuan dibunuh. Picu terjadinya penyerangan itu, yang merupakan proklamasi adanya OPM, adanya penolakan para anggota Batalyo Papua (PVK, Papoea Vrijwilingers Korps) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh kepada penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di suku tersebut. Gerakan ini kemudian menjalar ke seluruh Kepala Burung dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatik gerakan tersebut adalah Johan Ariks. Sedangkan tokoh-tokoh militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, yaitu Lodewijk dan Barends sertau dua bersaudara Awom, yaitu Fery dan Perminas. Inti dari kekuatan ini adalah bekas anggota PVK atau yang dikenal dengan Batalyon Papua. Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata, Johan Ariks adalah pemimpin partai politik yang bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan beranggotakan sebagian besar orang-orang dari suku Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papu tanpa sasaran tanggal tertentu. Empat tahun kemudian, pemberontakan OPM ini dapat dipadamkan oleh pasukan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) dibawah pimpinan Sarwo Edhie Wibowo, pada tanggal 1 Juli 1971 “Proklamasi OPM” kedua muncul di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Nugini yang terkenal dengan markas Viktoria (Mavik). Pencetusnya adalah Seth Jafet Rumkorem (suku Biak), dia adalah putra pejuang Merah Putih Lukas Rumkorem, yang sebenarnya adalah mantan tentara Indonesia. Karena melihat begitu banyak pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di Papua, maka Seth Jafet Rumkorem kemudian bergabung dengan para aktivis OPM di hutan-hutan. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor. Atas dorongan dan dukungan Womsiwor, Seth Jafet Rumkorem membacakan proklamasi Republik Papua Barat.
Wilayah merdeka yang diimpikan oleh para aktivis OPM, tiga tahun kemudian berkembang tidak hanya wilayah yang diproklamasikan di Mavik tapi melebar sampai meliputi Papua Nugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui menandatangani apa yang disebu dengan “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen” yang isinya menghendaki persatuan atas bangsa papua dari Samarai (si ujung buntut Papua Nugini) hingga ke Sorong. Kemudian atas pernyataan tersebut, pemerintah pusat bertindak tegas dengan menahan keenam orang tersebut dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan. Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah pusat melakukan kekejaman terhadap tokoh Papua, yaitu dengan menembak Arnold Clemens Ap ketika ia hendak menyeberang ke Papua Nugini. Arnold Clemens Ap adalah tokoh kebudayaan Papua. Dengan merekam lagu-lagu daerah Papua, dan menyebarluaskan melalui RRI Jayapura. Hal inilah yang membuat pihak keamanan merasa Arnold adalah bahaya bagi persatuan dan kesatuan Indoensia. Dengan ditembaknya Arnold Clemens Ap ketika hendak menyeberang ke Papua Nugini, menambah rasa benci rakyat Papua terhadap pemerintah pusat bahkan terjadi gelombang pengungsian besar-besar ke Papua Nugini akibat ditembaknya Arnold Clemens Ap. Banyak fraksi OPM di luar negeri yang mengklaim bahwa Arnold Clemens Ap dijadikan “Menteri Pendidikan dan Kebudayaan” dalam kabinet bahwa tanah OPM di Papua.
Pada tanggal 14 Desember 1988 terjadi peristiwa pengibaran bendera dan proklamasi OPM di Stadion Mandala, Jayapura. Tidak seperti proklamasi yang sebelumnya, Tom Wangai sebagai pemimpin menyebut negeri yang dibayangkan sebagai Melanesia Barat, Pemerintah Pusat kemudian menahan para proklamator tersebut dan mengirim mereka ke Kalisosok Surabaya dan meninggal di sana. Perkembangan yang terakhir adalah tewasnya tokoh Papua yang juga ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, yang diculik dan tewas keesokan harinya. Menurut Theys hubungan antara OPM dan Presidium Dewan Papua adalah OPM sebagai komponen bangsa Papua yang akan tetap dipakai dalam perjuangan merebut kemerdekaan negara Papua. OPM dan Dewan Presidium Papua adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
2.2. Gerakan Aceh Merdeka
Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureuh memproklamasikan berdirinya DI/TII. Hal ini merupakan penolakan Daud Beureuh, seorang ulama yang karismatik, kepada kekuasaan Jakarta. Latar belakang proklamasi pendirian DI/TII karena kekecewaan yang mendalam ketika 14 Agustus 1950 Mr. Assaad sebagai pemangku jabatan presiden dan Mr. Soesanto sebagai Menteri Dalam Negeri mensahkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang No. 5 tahun 1950. Melalui peraturan ini, Propinsi Aceh dibubarkan dan dimasukkan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Pada akhir tahun 1962, Daud Beureuh dapat dibujuk oleh Jendral Nasution untuk turun gunung dan sebagai imbalannya Aceh kemudian dijadikan daerah istimewa dan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Kemudian pemberontakan ini dapat dipadamkan, walaupun akhirnya janji yang diberikan tidak menjadi kenyataan. Pada akhri 1976 Tengku Hasan di Tiro, seorang pelarian politik, kembali ke Indonesia setelah lari ke Amerika Serikat. Tengku Hasan di Tiro memilih lari ke Amerika Serikat setelah Daud Beureuh turun dari gunung dan berdamai dengan pemerintah pusat. Rute kembalinya Tengku Hasan di Tiro ke Aceh melalui rute udara ke Thailand, yang dilanjutkan ke Malaysia dan diteruskan menyusup dengan menumpang perahu nelayan ke Pidie. Kembalinya Tengku Hasan di Tiro ke Aceh karena mendengar penderitaan rakyat Aceh yang semakin miskin sedangkan para pendatang semakin kaya karena alam Aceh. Kedatangannya kali ini dengan garis ideologi yang lebih keras dan perjuangan yang lebih jelas dan sistematis. Garis perjuangannya ingin merebut kembali kedaulatan Aceh yang telah direbus kolonialis dan imperalisme Indonesia Jawa. Tengku Hasan di Tiro menyusun bukti-bukti historis yang menunjukkan bahwa Aceh sejak lama merupakan bangsa yang berdaulat atas wilayah Aceh. Sejak berdirinya Kesultanan Aceh, perjanjian antara Belanda dan Inggris hingga deklarasi perang. Tanggal 4 Desember 1976 Tengku Hasan di Tiro memproklamasikan Aceh Merdeka, lengkap dengan susunan kabinetnya, kemudian Tengku Hasan di Tiro membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperjuangkan hak dan kedaulatan rakyat Aceh.
Pemerintah pusat merespon hal ini dengan mengirim pasukan sebanyak-banyaknya ke Aceh. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh Timur dan Aceh Utara. Tengku Hasan Tiro dapat melarikan diri dari pembersihan GAM oleh pemerintah pusat dan melarikan diri ke Thailand melalui Malaysia dan selanjutnya bermukim di pinggiran kota Stockholm, Swedia. Tengku Hasan Tiro tidak kembali ke Amerika Serikat karena merasa ditipu oleh rekannya, Felix Trump, mantan Panglima Armada Laut Pasifik Amerika Serikat, yang menjanjikan persenjataan di Aceh. Felix Trump membantah menjanjikan tapi hanya mengatakan akan mengusahakan jika memungkinkan .

B. PENERAPAN HUKUM HUMANITER DI INDONESIA
1. Penggolongan Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua ke Dalam Sengketa Bersenjata non Bersenjata
Untuk menentukan suatu konflik termasuk kedalam sengketa bersenjata non internasional, masih mengalami kesulitan karena banyaknya pro dan kontrak di kalangan masyarakat dan akademisi. Dalam hukum humaniter internasional banyak istilah yang dipakai untuk menyebutkan kekacauan keamanan dalam negeri yang disimpulkan dalam konflik bersenjata non internasional (Non International armed Conflict). Akan tetapi pemerintah dengan pertimbangan national interest menyebutkan dengan istilah Gerakan Pengacu Keamanan (GPK). Namun ada kecenderungan bahwa Indonesia enggan memperlakukan Protokol Tambahan II 1977 karena khawatir akan memberikan status belligerent kepada pemberontak dan belum diratifikasinya Protokol Tambahan 1977 tersebut. Terlepas dari itu, dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 terdapat rumusan untuk memasukkan suatu konflik kedalam konflik bersenjata non internasional walaupun masih dirumuskan sangat luas. Perumusan lebih spesifik dan mendetail dapat dilihat dalam Protokol Tambahan II 1977 yang terdapat syarat-syarat suatu konflik bersenjata non internasional, walaupun terasa berat untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Namun masih terdapat syarat-syarat minimum dan syarat maksimum untuk memasukkan suatu konflik disebut konflik bersenjata non internasional.
Menurut Protokol Tambahan II 1977, kriteria suatu non international armed conflict :
a. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
b. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
c. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
d. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
e. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Melihat syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV dan Pasal 1 Protokol Tambahan 1977, maka konflik bersenjata yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua yaitu antara pemerintah dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maka dapat digolongkan ke dalam konflik bersenjata non internasional.
1.1. Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam
Konflik yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam ini termasuk konflik yang panjang dan tragedi kemanusiaan yang kelam di Indonesia. GAM meminta kemerdekaan penuh atas bangs Aceh, dan tidak menginginkan bentuk apapun selain merdeka. GAM dalam perjuangan menggunakan cara-cara militer dan lobi-lobi internasional yang telah mendukung perjuangan GAM. Setelah Orde Baru runtuh, timbul suatu perlawanan dari sipil yang menamakan SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) yang menginginkan diadakannya referendum di Nanggroe Aceh Darussalam, namun tidak ada hubungan baik secara kelembagaan atau struktural antara GAM dengan SIRA.
GAM mempunyai struktur organisasi yang lengkap dan rapi. Wali Negara Tengku Hasan Tiro yang berada di luar negeri. Keadaan di Aceh dikendalikan dari luar negeri dengan mengandalkan Panglima Perang Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) yaitu Tengku Abdullah Syafii (yang kemudina tewas tertembak TNI dalam kontak senjata). Menurut identifikasi pemerintah, AGAM memiliki 4.869 orang dengan 804 orang diantaranya kader militan yang dilatih di Libya, dan 115 orang lainnya dilatih di Philipina. Persenjataan yang dimilikinya termasuk modern yaitu pistol, senapan, GLM, mortir, serta granat. Jenis senjata yang digunakan umumnya AK-47 dan M16-A1, baik membeli di luar negeri atau hasil rampasan dari TNI. Hasil rampasan dari TNI/Polri tercatat 2.619 pucuk senjata. Dalam pendanaan, GAM termasuk kuat karena pendapatan mereka selama ini didapat dari perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam. Pihak GAM mengklaim bahwa GAM menguasai daerah-daerah di luar kota dan Jakrta hanya menguasai Banda Aceh dan beberapa kota besar saja. Menurut pemerintah Indonesia di Aceh di identifikasi ada tiga wilayah, yaitu wilayah putih adalah daerah yang tidak ada aktifitas GAM, wilayah kelabuh adalah daerah yang keadaan keamannya sedang labil, serta daerah hitam adalah daerah yang dikuasai GAM antara lain : Pidie, Pireuy, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Selatan. Pernyataan pers Akhir tahun yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia yang ditanda tangani oleh menteri luar negeri Alwi Shihab menyatakan :
…. Pemerintah Indonesia telah melakukan dialog dengan GAM melalui kesepakatan Bersama Jeda Kemanusiaan untuk Aceh yang ditanda tangani di Jenewa tanggal 12 Mei 2000 dan berlaku mulai 2 Juni hingga tanggal 2 September 2000, dan kemudian diperpanjang masa berlakunya hingga tanggal 15 Januari 2001 dengan persyaratan bahwa pihak GAM bersedia memasuki dialog substansif. Jeda kemanusiaan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan dan kekerasan, menyalurkan bantuan kemanusiaan serta untuk membantun saling percaya guna kemudian ditingkatkan ke pembahasan masalah yang bersifat politis.
1.2. Konflik di Papua
Organisasi Papua Merdeka yang merupakan stigma atau tanda dari pemerintah untuk menyebutkan gerakan separatis yang menginginkan kemerdekaan di tanah Papua. OPM ini dalam perjuangannya identik dengan gerakan gerilya.
Di Papua terdapat tiga kelompok paham kebangsaan, yaitu :
a. Paham kebangsaan suku (Ethno-Nasionalism); suatu paham kebangsaan yang tertua di Papua.
b. Paham kebangsaan “Merah Putih”; suatu paham yang dianut oleh orang Papua yang mempertaruhkan masa depan Papua dengan kesatuan Indonesia.
c. Paham kebangsaan Papua; suatu paham yang menginginkan berdirinya suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
OPM, pertama kali muncul ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak di kota Manokwari terhadap pasukan Batalyon 751 (Brawijaya). Penyerangan ini dipicu dengan adanya penolakan anggota Batalyon Papua (PVK, Papoea Vrijwilinger Korps) dari suku Arfak dan Biali.
Selain melakukan gerilya, OPM juga melakukan lobi-lobi internasional yang merupakan upaya mendapatkan simpai dan dukungan dari dunia internasional, medan-medan diplomasi OPM di luar negeri :
a. Negara-negara serumpun, seperti Papua Nugini, dan Vanuatu.
b. Negara-negara Eropa Barat, seperti Belanda dan Swedia, yang terdapat kelompok-kelompok yang mendukung OPM, karena solidaritas kelompok-kelompok minoritas tertindas dan melihat perjuangan OPM sepaham dengan Neo-Marxisme.
c. Negara Afrika yaitu Senegal, yang mendukung OPM berdasarkan paham Negritude, yang memperjuangkan solidaritas diantara seluruh ras kulit hitam. Dari ibukota Senegal, Dakar, juga dibina hubungan diplomatik OPM dengan 15 negara Afrika Barat dan Tengah yang menolak hasil Pepera dalam sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969.
d. Negara Eropa seperti Irlandia dan Portugal adalah negara yang mendukung OPM dalam perjuangannya.
Menurut Ottis Simopiearef, tokoh OPM di Belanda, OPM adalah mask movement, OPM tidak memiliki struktur jelas dan tidak punya pimpinan. Karena merupakan mask movement, di dalam OPM terdapat banyak orang yang aktif berkampanye tentang masalah lingkungan, HAM, politik dan demokrasi. Selain itu, para gerilyawan yang ada di Papua mempunyai tugas mencoba sekuat tenaga untuk memberikan informasi kepada orang-orang kampung, agar tidak mudah menerima uang sogokan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua selain tugas untuk memerdekana Papua. Dalam bertugas, gerilyawan dibagi menjadi :
a. Komandan gerilya daerah selatan adalah Bernard Maweeen.
b. Komandan gerilya daerah utara adalah Mathias Wenda.
c. Komandan gerilya daerah tengah adalah Kelly Kwalik.
Selain OPM yang bergerilya dengan penggunaan senjata, di Papua juga terdapat Presidium Dewan Papua yang diketahui oleh Tehys Hiyo Eluay, yang terbunuh setelah diculik, menginginkan kemerdekaan Papua melalui cara-cara damai, bahkan dalam kongresnya yang dibiayai oleh pemerintah secara tegas menyatakan kemerdekaan Papua dan telah disampaikan oleh pemerintah pusat. Menurut Theys, hubungan antara OPM dan Presidium Dewan Papua adalah erat dan saling berkaitan sebagai komponen bangsa Papua.

2. Implementasi Secara Umum
Kewajiban untuk menerapkan hukum humaniter internasional dapat dilihat Pasal 1 ketentuan bersama dalam empat konvensi Jenewa, yaitu :
“Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan konvensi ini dalam segala keadaan”
disamping itu, dalam protokol 1 menegaskan dalam Pasal 87 tentang tugas para komandan dengan mengingat bahwa tugas para komandan untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap hukum humaniter, dan apabila ada pelanggaran komandan wajib mengambil tindakan menghukum atau melaporkan orang yang salah kepada instansi yang berwenang. Istilahnya komandan dalam kasus ini adalah memiliki arti yang luas, yaitu mencakup setiap militer yang memerintah sejumlah bawahan. Berkaitan dengan itu, Perhimpunan Palang Merah Nasional mempunyai peranan yang penting tetapi terbatas, yaitu mengingatkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan nasional yang dibutuhkan agar hukum humaniter internasional dapat diterapkan dalam konflik yang terjadi.
Peranan ICRC di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar terutama di daerah konflik yang akan kita khususkan di Nanggroea Aceh Darusslam dan Papua. Sesuai MOU tertanggal 5 Oktober 1977 (yang selanjutnya disebut dengan MOU 1977) antara ICRC dan Pemerintah Indonesia tentang kunjungan tahanan politik di Indonesia. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk melihat kondisi tahanan selama di tahan dan bukanlah alasan mereka ditahan. Kondisi penahanan mencakup tiga aspek yaitu kondisi materil, perlakuan dan kondisi kesehatan. Kunjungan ICRC tidak memberikan hak atau status khusus kepada seorang tahanan yang dikunjungi dan tidak mempengaruhi status yang telah diberikan oleh instansi yang berwenang. Pada tahun 1991 ICRC mendapat izin untuk mengunjungi para tahanan di Aceh, namun izin untuk melakukan aktifitas di lapangan di daerah tersebut baru diterima ICRC pada akhir tahun 1993. Sesuai dengan Pasal II ayat (h) MOU 1977 maka sejak tahun 1994 ICRC membantu meringankan beban keluarga beberapa tahanan dengan memberikan bantuan berupa dukungan dana pendidikan bagi anak-anak. Meninjau pembehasan dan keadaan eks-tahanan. Setelah memperoleh informasi bahwa seseorang tahanan telah dibebaskan, ICRC akan mensurvey di lapangan, apakah tahanan tersebut telah kembali ke tempatnya dan dapat menjalani kembali kehidupan yang normal yang sesuai dengan pasal II ayat c, d, e.
Sejak November 1997, sesuai dengan Agreement Between the ICRC and the Government of the Republic of Indonesia on the Establishment of the ICRC Regional Delegation In Jakarta Pasal II yang berbunyi “… to give support and assistance to the National Red Cross and Red Crescent Societies where and whenever needed”. ICRC bekerja sama dengan PMI menjalankan program bantuan makanan dan obat-obatan untuk penduduk Papua yang menderita kekurangan pangan. Program tersebut dilakukan dengan koordinasi dengan instansi sipil dan militer. Disamping itu ICRC juga melakukan kunjungan terhadap tahanan OPM baik yang ditahan di Papua maupun di luar propinsi tersebut berdasarkan MOU 1977.
Berdasarkan Agreement Between the ICRC and the Government of the Republic of Indonesia on the Establishment of the ICRC Regional Delegation in Jakarta Pasal III yang berbunyi “… to promote the International Humanitarian Law and principles of the Red Cross within the region…” peranan untuk menyebarkan informasi mengenai hukum humaniter dan promosi kemanusiaan juga dilakukan ICRC dengan bekerja sama dengan Babinkum TNI. Tujuannya adalah bukan untuk mengajari anggota angkatan bersenjata, tetapi mendukung upaya yang dilakukan guna meningkatkan efektifitas intruksi militer di bidang hukum humaniter.

3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua
Menurut Sugeng Istanto yang mengatakan bahwa pembahasan pengaturan sengketa bersenjata non internasional dalam hukum humaniter internasional dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Instrumen hukum humaniter yang mengatur sengketa non internasional.
b. Materi yang diatur masing-masing hukum humaniter internasional.
c. Rangkaian instrumen hukum humaniter internasional.
Pada Konvensi Jenewa 1949 tidak dijelaskan secara mendetail tentang persengketaan bersenjata yang tidak bersifat internasional, dan dalam hal sengketa bersenjata non internasional penting diketahui bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tidak mempunyai akibat hukum terhadap kedua belah pihak, termasuk status pihak pemberontak, seperti yang tercantum pada alinea ke-4 pasal tersebut :
“… the application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to conflict”
Jadi, jelas bahwa Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka termasuk dengan apa yang disebut “sengketa bersenjata non internasional (Non International Armed Conflict). Karena itu maka pemerintah dan pihak yang menginginkan lepas dari Indonesia harus menghormati hukum humaniter internasional dan harus menghormati juga hak-hak dasar dari rakyat sipil yang pasti akan terlibat atau setidak-tidaknya ikut terbawa oleh adanya konflik ini.
Setelah menentukan bahwa konflik yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua adalah sengketa bersenjata non international, maka yang menjadi kewajiban pemerintah adalah menghormati pelaksanaan adanya hukum humaniter tersebut. Namun untuk melaksanakan hal tersebut banyak sekali hambatan-hambatan yang ada, yaitu :
a. Kendala pertama, kesadaran yang kurang mengenai tindakan pelaksanaan yang harus diambil di tingkat nasional.
b. Kendala kedua, sehubungan dengan masalah birokrasi, implementasi hukum humaniter internasional memerlukan kerjasama antar departemen di pemerintahan namun dalam kenyataannya koordinasi tersebut sulit dan memakan waktu cukup lama.
c. Kendala ketiga, pertentangan antar kepentingan, beberapa ketentuan Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol tambahan dianggap membatasi kedaulatan negara atau mengancam keamanan militer.
Kendala tersebut dapat diatasi atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir, adapun pemecahan :
a. Pemecahan kendala pertama, diperlukan penyebaran terus-menerus tentang hukum humaniter internasional dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang hukum tersebut.
b. Pemecahan kendala kedua, meningkatkan motivasi untuk aktivitas yang harus dilakukan oleh birokrasi, dalam hal ini persaingan dan gengsi antar departemen dapat menjadi dorongan.
c. Pemecahan kendala ketiga, dibutuhkan semacam mekanisme penelitian internasional terhadap proses implementasi hukum humaniter internasional di tingkat nasional, namun penelitian ini harus mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan.
Dari data yang ada di lapangan tercatat bahwa instansi militer dalam hal ini adalah representatif dari negara telah banyak melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Ada tiga hal yang dapat dituduhkan kepada pemerintahan Indonesia, yaitu :
a. Aparat Indonesia telah melanggar ketentuan penggunaan kekuatan (wewenang).
b. Membuat keputusan yang bertentangan dengan hukum.
c. Tidak berupaya mencegah atau menghentikan pada waktu kejadian.
Sebagai contoh dapat diambil dari data Kontras periode Januari – 7 Desember 2000 yang mencatat bahwa :
Institusi pelaku pelanggaran :
 Polri : 735 kali
 Gabungan TNI-Polri : 76 kali
 TNI : 29 kali

Jenis pelanggaran :
 Penghilangan secara paksa : 57 kasus dengan 73 korban jiwa
 Pembunuhan di luar prosedur : 185 kasus dengan 310 korban jiwa
 Penanganan semena-mena : 315 kasus dengan 455korban jiwa
 Penyiksaan : 376 kasus dengan 436 korban jiwa
Dari data tersebut dapat diperhatikan bahwa pemerintah Indonesia kurang serius dalam penanganan hukum humaniter dan seharusnya lebih memperhatikan masalah ini karena akan menjadi perhatian dunia internasional.
Dalam pelaksanaan di Indonesia penyebaran pengetahuan ini dilakukan oleh ICRC dalam pusat studi hukum humaniter untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hukum humaniter dan dilakukan melalui lembaga akademik dan lembaga militer sebagai bagian yang dekat dan bersentuhan secara langsung dengan konflik yang ada. Masalah penanganan korban konflik selama ini dilakukan oleh Palang Merah Indonesia dan departemen sosial dan departemen pemukiman, kerjasama antara lembaga-lembaga tersebut sudah terjalin walaupun masih banyak keluhan dari pihak korban sendiri.
4. Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh
Dalam upaya perdamaian,pilihan cara sangat menentukan hasil tujuan. Jalan menuju perdamaian tidak bisa dilakukan dengan cara tidak damai, paksaan, tekanan, atau kekerasan senjata. Perlu menempuh diplomasi banyak jalur (multitrack diplomacy) untuk penghentian konflik Aceh. Salah satu jalur yang penting diperhitungkan adalah jalur diplomasi sipil yang belum banyak ditempuh selama ini. Berbeda dengan jalur diplomasi pemerintah yang terbatas pada jalur birokrasi formal yang bersifat konvensial, sering tergoda menggunakan cara kekerasan militer, jalur diplomasi sipil sangat kaya alternatif cara dengan menggunakan berbagai jalur aktivitas sosial-ekonomi-budaya sangat beragam di masyarakat dengan mengandalkan peran tokoh-tokoh sipil.
Jalur diplomasi sipil tampaknya paling ideal untuk konflik Aceh. Konflik ini merupakan konflik vertikal antara pemerintah pusat di satu pihak dengan GAM, Sira-Rakan, dan warga sipil Aceh di pihak lain. Pemerintah sudah menjadi bagian dari konflik, atau salah satu pihak yang berkonflik. Karena itu jalur diplomasi pemerintah akan menemui banyak hambatan, kurang dipercaya akan selalu dicurigai tidak netral.
Salah satu cara diplomasi sipil adalah jeda kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak pemerintah pusat dan pihak GAM di Jenewa pada tanggal 12 Mei 2000 dan berlaku mulai 2 Juni hingga tanggal 2 September 2000, dan kemudian diperpanjang masa berlakunya hingga tanggal 15 Januari 2001 dengan persyaratan bahwa pihak GAM bersedia memasuki dialog substantif. Jeda kemanusiaan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan dan kekerasan, menyalurkan bantuan kemanusiaan serta untuk membangun saling percaya guna kemduian ditingkatkan ke pembahasan masalah yang bersifat politis. Hasan Wirajuda, yang bertindak selaku perunding utama dalam masalah Aceh, mewakili pemerintah RI dalam pertemuan tersebut. Sedangkan dari pihak GAM diwakili oleh dr. Zaini Abdullah dan Malik Mahmud dan, sebagaimana biasanya, Tengku Hasan di Tiro hadir di gedung pertemuan. Pada pertemuan ini hadir pula, dari Banda Aceh, wakil-wakil kedua pihak dalam Komite Bersama Aksi Kemanusiaan dan Komite Bersama Modalitas Keamanan. Anggota Komite Bersama dari pihak pemerintah pusat yang hadir dalam pertemuan Forum tersebut adalah Ny. Naimah Hasan dan Senior Superintendent Ridhwan Karim.
Dilihat dari Konvensi Jenewa 1949, terdapat ketentuan tentang hal tersebut. Dalam pasal 3 ayat 3 disebut : “The parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means of special agreement, all or part of the other provisions of the present convention”. Dalam dalam Pasal 3 ayat 4 : “The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict” yang memberikan jaminan kepada pemerintah sah, apabila mereka memberlakukan Pasal 3 ini terhadap pemberontak, maka hal itu tidak merubah status hukum pemberontak menjadi belligerent, yang lebih ditekankan adalah pelaksanaan perlindungan terhadap asas-asas kemanusiaan.
Prinsip kemanusiaan yang ditekankan dalam kesepahaman ini dapat dilihat dari kata-kata awal kesepahaman “Mengingat pada Pihak pada Kesepahaman Bersama ini percaya kepada kaidah-kaidah dasar dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan…”
Adapun “Kesepahaman bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh” bukan merupakan “perjanjian” formal, namun lebih bersifat sebuah understanding mengenai “technical arrangement” yang pengaturan tentang formatnya selalu akan disempurnakan, termasuk wakil yang menandatangani kesepahaman tersebut, untuk mencapai hasil yang optimal.
5. Hukum Humaniter Internasional di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua
Asas hukum internasional yang diterima oleh semua negara, ialah bahwa kejadian-kejadian dalam suatu negara adalah urusan intern negara tersebut yang tidak berhak dicampuri oleh pihak-pihak asing. Tetapi pemberontakan merupakan suatu peristiwa berdarah yang menggunakan senjata dan dapat terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak. Di samping itu mungkin juga terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum pemberontak dan simpatisan lainnya, sehingga akan ada orang yang merupakan tawanan pemerintah yang resmi.
Apabila pemberontak dalam suatu negara itu telah mengambil proporsi sedemikian rupa sehingga negara-negara lain tidak dapat menutup mata terhadap kasus tersebut. Maka lahirlah konsep “recognition of insurgency”, dalam hukum internasional yaitu pengakuan adanya pemberontakan itu, bukan penghukumannya. Indonesia telah mengakui keberadaan Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka sebagai suatu gerakan separatisme atau pemberontakan yang membahayakan persatuan negara sehingga konsep ini telah diterapkan oleh Indonesia. Memang ada konsep “pengakuan belligerensi”, tetapi pemberian status belligeren itu mencakup kenyataan adanya suatu golongan politik yang telah terorganisir dan yang secara de facto telah menguasai suatu daerah tertentu, dimana golongan itu telah bertindak seolah-olah mereka merupakan suatu pemerintah. Namun tidak selamanya kaum pemberontak itu mulai dengan segera dapat menguasai suatu daerah secara de facto. Mungkin pada mulanya mereka belum terorganisir dan kedudukannya masih berpencar, sehingga belum mampu bertindak sebagai pemerintah. Namun demikian kaum pemberontak telah dapat memberikan perlawanan yang efektif terhadap pasukan-pasukan pemerintah resmi dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi disana-sini. Terdorong pertimbangan rasa kemanusiaan terhadap orang-orang tersebut, yang pada hakekatnya bukan penjahat kriminal biasa namun pejuang-pejuang politik yang telah mengangkat senjata maka hukum internasional memberikan kedudukan tertentu kepada kaum pemberontak di bawah konsep “recognition of insurgency”. Meskipun dengan pemberian pengakuan sebagai pemberontak itu berubah-ubah dalam berbagai keadaan, yang penting adalah dengan pengakuan tersebut diharapkan bahwa pemerintah pusat akan memperlakukan mereka sesuai dengan tuntutan Konvensi Jenewa 1949 khususnya dan hukum humaniter pada umumnya.
Menurut Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan menyebabkan bahwa sekitar tahun 1987-1998 dalam operasi pengejaran tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh TNI, sepuluh orang tercatat diperkosa dibawah ancaman senjata. Perkosaan menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan dialami perempuan di daerah-daerah Mapnduman, Nggeselema Bela, Alama, Jila dan sekitar tahun 1996-1998 yang dilakukan oleh tentara. Investigasi di lapangan yang dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah Papua, Gereja Kristen Injil di Papua dan Keuskupan Jayapura mencatat beberapa perkosaan terjadi.
Menurut Anne Feith, peneliti dari Queensland University, mengatakan bahwa dalam kondisi perang atau konflik, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk memperlakukan dan meneror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh.
Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) menyebutkan bahwa setelah melakukan serangkaian wawancara dengan para korban, keluarga korban, tokoh masyarakat, LSM, pemerintahanan sipil dan militer dan memeriksa bukti-bukti serta menggali 5 lokasi kuburan massal yang disertai dengan penelitian forensik menyimpulkan bahwa selama DOM di Nanggroe Aceh Darussalam telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terutama pelanggaran berat (gross violation of human rights), yaitu pelanggaran :
a. Pembunuhan kilat (summary killing)
b. Penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (torture and other cruel, in human/degrading treatment).
c. Penghilangan secara paksa (enforced disappearance)
d. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention)
e. Perusakan hak milik (destruction of property)
f. Perkosaan dan kekerasan seksual (rape and sexual assault)
Pelanggaran-pelanggaran ini adalah serangan terhadap martabat dan kehormatan manusia, yang menimbulkan persoalan trauma yang serius dalam bidang sosial, politik dan hukum yang disebabkan oleh kondisi teror yang berkepanjangan dan meerupakan pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949.
Disamping pemberlakuan proses peradilan bagi pelanggar hukum humaniter tidak dikesampingkan pula rehabilitasi dan pengembalian korban konflik yang ada, karena hukum humaniter tidak semata-mata proses pengadilan maka santunan dan rehabilitasi sangat diperlukan. Sejak kepemimpinan presiden Habibie telah menyantuni para keluarga korban DOM dan di Papua, dan ICRC dan pemerintah Indonesia telah sepakat untuk menyantuni korban dan keluarga sesuai MOU tertanggal 5 Oktober 1977 Pasal II ayat (h) “Material assistance may be given to needy detainees of their families …” yang pelaksanaanya dilakukan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).
6. Belum Ikut Sertanya Indonesia dalam Protokol Tambahan 1977
Sesuai dengan namanya yaitu “Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949” maka protokol tambahan 1977 merupakan “tambahan sekaligus penyempurna dari Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan 1977 memuat definisi dari beberapa pengertian pokok dalam Hukum Humaniter yang belum dijelaskan dalam konvensi-konvensi terdahulu dan memberikan penegasan arti dari pengertian-pengertian tersebut dan dengan demikian akan menghapuskan penafsiran yang berbeda-beda.
Protokol Tambahan juga memberikan status hukum kepada seorang “gerilyawan” yang dalam Protokol disebut “armed combatan” yang dalam keadaan tertentu dan memenuhi syarat minimal tertentu, yaitu membawa senjata secara terbuka. Disamping itu Protokol tambahan juga memberikan perlindungan secara khusus kepada wanita dan anak-anak. Penghormatan khusus terutama harus dilindungi dari perkosaan (rape), Pelacuran yang dipaksakan sesuai Pasal 76. Anak-anak harus mendapat perlakuan secara khusus dan harus dilindungi dari setiap bentuk serangan yang tidak senonoh. Pihak-pihak yang berkonflik harus mengusahakan agar anak-anak yang belum berusia lima belas tahun tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan sesuai dengan Pasal 77.
Pasal 1 menentukan bahwa Protokol ini berlaku dalam setiap perang yang diumumkan, atau dalam setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan eprang tidak diakui oleh salah satu diantara mereka, dan dalam semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata.
Indonesia khawatir apabila ikut serta dalam Protokol ini maka memberikan dorongan kepada beberapa suku bangsa di Indonesia untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia, dengan dalih menggunakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination) dengan jalan mengadakan perjuangan senjata, karena dalam Protokol ini tidak ditentukan apa yang dimaksud dengan bangsa (people) tersebut. Namun sebenarnya yang dimaksudkan bangsa sesuai notulen adalah suku bangsa yang merupakan bagian dari suatu bangsa yang telah merdeka. Dan dapat ditutupi dengan membatasi pengertian bangsa (people).

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kaidah-kaidah hukum humaniter adalah mengikat bukan saja terhadap negara-negara itu sendiri akan tetapi juga terhadap individu-individu termasuk anggota angkatan bersenjata, kepala negara, menteri-menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Kecuali jika traktat atau kaidah hukum kebiasaan internasional mengatur lain, keperluan militer tidak membenarkan suatu pelanggaran kaidah-kaidah hukum humaniter internasional.
Apabila timbul suatu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, seperti halnya yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, maka yang berlaku hanyalah satu pasal dari Konvensi Jenewa 1949 yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Walaupun hanya satu pasal tetapi pasal tersebut adalah intisari dari pasal-pasal lainnyadalam Konvensi Jenewa 1949 yaitu perlindungan kepada para korban perang.
Ayat ke-4 Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan kepada pemerintah yang sah bahwa apabila mereka memberlakukan Pasal 3 ini terhadap pemberontak, maka hal itu tidak merubah status hukum pemberontak menjadi belligerent.
Memasukkan konflik yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua sebagai konflik bersenjata non internasional karena :
1. Syarat-syarat untuk disebut hal itu telah dipenuhi.
2. Konflik yang terjadi nyata adanya yang bertempur adalah pihak pemberontak atau kelompok yang menginginkan kemerdekaan dengan Angkatan Perang Republik Indonesia/TNI dan telah berlangsung secara lama dan terus menerus.
Indonesia sebgai Pihak Peserta Agung selama ini masih menggunakan istilah separatisme dan pemberontakan kepada kelompok-kelompok yang menginginkan kemerdekaan atas wilayahnya. Pendekatan kekerasan yang digunakan oleh pemerintah Indoensia selama ini hanya menambah korban yang berjatuhan baik di pihak TNI sendiri dan pihak pemberontak serta pihak penduduk sipil ikut menjadi korban atas konflik yang terjadi. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang adanya kekerasan dan pembunuhan dan mengutamakan asas kemanusiaan yang pada prakteknya banyak dilanggar oleh institusi TNI dan banyaknya laporan dari berbagai pihak dan lembaga yang menyebutkan banyaknya pelanggaran hukum humaniter di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Penerapan pengadilan selama ini hanya mengenai kepada para prajurit di lapangan dan belum mengenai para pemberi perintah dan perancang skenario, hal ini berkaitan erat dengan masalah politik yang penyelesaiannya harus menggunakan politik pula.
ICRC dan Henrie Dunant Centre sebagai lembaga humaniter internasional turut berperan di daerah konflik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Menurut perjanjian antara Indonesia dengan ICRC dalam MOU tertanggal 5 Oktober 1977 disebutkan bahwa ICRC diberi hak untuk mengunjungi tahanan politik di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua serta merehabilitasi keluarga korban konflik dengan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).
Jalan dialog perlu dikedepankan untuk menyelesaikan masalah di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Diadakannya Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk mengedepankan langkah dialog dengan pihak GAM di Nanggroe Aceh Darussalam dan direncanakan akan diadakan hal yang serupa untuk kedua kalinya untuk menyelesaikan konflik yang ada. Bantuan dana dari pemerintah untuk dapat diselenggarakannya Konggres Rakyat Papua yang salah satu keputusan adalah keinginan merdeka, merupakan cara pemerintah untuk mengedepankan dialog. Telah disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Papua yang berisikan penentuan kebijaksanaan lebih luas yang diberikan untuk mengatur daerahnya sendiri merupakan kebijaksaaan pemerintah untuk mengurangi konflik yang ada.

B. SARAN
Memposisikan militer Indonesia di bawah pengawasan demokratis yang lebih kuat, mereduksi kehadiran militer di dalam wilayah genting Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh tentara waktu lalu harus dituntut secara hukum dan lebih meningkatkan upaya rehabilitasi terhadap korban konflik. Para penanggung jawab kebijakan secara hierarkis dan pelaku pelanggaran harus diajukan ke pengadilan, kepada korban hirarkies dan pelaku pelanggaran harus diajukan ke pengadilan, kepada korban dan keluarga korban diberikan kompensasi serta rehabilitasi sesuai dengan asas keadilan.
Sudah saatnya kurikulum pendidikan di TNI ditinjau secara mendasar. Penyimpangan budaya militer berupa sikap dan praktek seolah-olah dapat berbuat apapun (impunity) oleh anggota TNI demi negara dan stabilitas perlu dihilangkan dan untuk kepentingan militer dan penegakkan hukum humaniter dan HAM perlu dipertimbangkan untuk meninjau dan menyempurnakan beberapa ketentuan hukum militer yang berlaku tetapi tidak sesuai dengan perkembangan khususnya dalam pelaksanaan tugas operasi.
Indonesia tidak perlu ragu untuk meratifikasi Protokol Tambahan I dan II 1977, karena masih terdapat celah yang dapat dipakai oleh pemerintah Indonesia dengan persyaratan deklarasi, pada saat meratifikasi dengan persyaratan deklarasi tersebut Indoensia dapat memberi arti lain terhadap peoples di dalam Pasal 1 (4) Protokol I 1977 dengan harus diakui oleh organiasi bangsa atau negara lain di kawasan itu.
Perlindungan terhadap para pekerja kemanusiaan perlu ditingkat karena yang terjadi di lapangan adalah jatuhnya korban dari pekerja kemanusiaan karena kurangnya perlindungan dan minimnya pengetahuan hukum humaniter oleh para pihak yang sedang berkonflik. Pembentukan undang-undang yang melindungi secara khusus pekerja kemanusiaan perlu segera direalisasi oleh pemerintah dan lembaga legislatif.
DAFTAR PUSTAKA


Literatur

Arlina Permanasari, at al, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,
1994

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi - konvensi Palang Merah Tahun 1949, Binacipta,
Bandung 1986

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapan di
Indonesia, 1980

ICRC, Mengenal lebih jauh tentang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, ICRC Publications, Swiss, 1998

Waruno, Mahdi- sebagaimana dikutip dari Th. G. Th. Pigeaud, 1960 - 1963, “Java
Prapanca 1995,” Dasawarsa ( Negara Kertagama ), translated by Stuart
Robson, Verhendelingen van

Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan
Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992

Tuhana Taufiq Andrianto, Mengapa Papua Bergolak ?, GAMA Global Media ,
Yogyakarta, 2001,



Makalah dan Sumber lain

KOMNAS HAM Indonesia, Pernyataan KOMNAS HAM tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh selama dalam status Daerah Operasi Militer, 2 September 1998

George J Aditjondro, Makalah untuk Seminar Nasionalisme Indonesia pada dan menjelang abad XXI, di Kampus UKSW Salatiga, 2-5 Juni 1993.

Waruno Mahdi dari Broadcast on Maluki-Net mailing list < maluku-net@lava.net?

Maruli Tobing, Perjalanan Perlawanan Aceh dan Persepsi Orde Baru, Kompas, Sabtu 8 September 2001